Siaran Pers La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional)
SERIKATPETANIREMBANG.COM - BALI. Dalam sebuah komunike yang dirilis di situs web Bank Dunia pada 13 Oktober di sela-sela Pertemuan Tahunan di Bali, Komite Pembangunannya sekali lagi mengakui tingkat utang yang meningkat, namun malah masih percaya pada peran penting dari perdagangan internasional untuk pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pembangunan berkelanjutan. Ini jelas-jelas menggambarkan bagaimana karakteristik lembaga ini yang memang hanya mementingkan “bisnis”. Perdagangan internasional dan sistem keuangan global yang dipromosikan oleh Bank Dunia, IMF, serta WTO hanya memperparah kemiskinan, bukannya meringankan atau memberantasnya.
Zainal Arifin Fuad, anggota Komite Koordinator Internasional La Via Campesina (Gerakan Petani Internasional) menegaskan alternatif dari sistem keuangan global yang menggurita ini sangat mungkin terwujud.
“Kita semua harus merancang kampanye lokal, nasional dan internasional yang kuat untuk membongkar arsitektur keuangan saat ini dan menggantinya dengan sistem perbankan kooperatif dan perdagangan berbasiskan solidaritas,” tegasnya di Bali (14/10).
“Alternatif tersebut harus mampu menciptakan sistem yang membantu negara yang membutuhkan, tanpa bermaksud untuk mengeksploitasi rakyatnya atau menggali sumber daya alamnya. Kami tidak membutuhkan IMF. Sebaliknya apa yang dibutuhkan dunia adalah Dana Solidaritas Internasional! Proses itu harus dimulai sekarang,” lanjutnya.
“Gerakan sosial di seluruh dunia harus menyadari bahwa ketidakadilan yang kita hadapi bersama ini semuanya berhulu pada sistem global yang dikontrol oleh hanya beberapa orang multimiliarder — yang menguasai lembaga-lembaga tersebut; mereka inilah yang memutuskan kebijakan-kebijakan negara yang menjadi pasiennya,” tambah Ketua Departemen Luar Negeri Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) ini.
Sementara itu, Kim Jeongyeol daari KWPA (Organisasi perempuan petani Korea Selatan) mengemukakan, tidak satu pun dari lembaga-lembaga ini memiliki legitimasi yang tersisa untuk mewakili kebutuhan dan kepentingan petani kecil, buruh, masyarakat adat atau nelayan.
“Mereka harus pergi selama-lamanya,” tegasnya.
“Mereka harus pergi selama-lamanya,” tegasnya.
Hal senada disampaikan oleh Angel Strapazzon dari organisasi MNCI, Argentina. Ia menggarisbawahi, minggu kedua Oktober tahun 2018 ini menggenapkan 526 tahun invasi Eropa dan penjajahan Amerika.
“Ironisnya pada minggu ini pula para penjajah baru seperti IMF dan Bank Dunia ini sedang melakukan pertemuan untuk memuluskan agenda neoliberalnya,” katanya.
“Argentina sendiri baru berhutang 50 Miliar Dolar Amerika Serikat dari IMF, dengan syarat-sayarat yang sangat mencekik rakyat seperti dihapuskannya investasi publik, biaya jaminan sosial, dan lainnya,” tambahnya.
David Calleb Otieno dai KPL (organisasi petani dari Kenya) memaparkan, IMF hanya terus memberikan lebih banyak hutang dan mengeksploitasi jauh lebih banyak lagi.
“Mereka (IMF dan Bank Dunia) melakukan finansialisasi alam, yang berarti merebut tanah, danau, sungai kita secara paksa untuk dijual berupa dalam paket kepada perusahaan transnasional yang membunuh masyarakt dan komunitas kita. Bagaimana kita bisa memikirkan membagi lautan kita dan menjualnya? Nah, IMF dan Bank Dunia telah menemukan cara untuk memberikan harga nominal pada alam, berspekulasi, lalu merampasnya. Jika kita membutuhkan masa depan yang aman, lembaga-lembaga ini dan kepentingan yang mereka wakili harus lenyap,” paparnya.
Baramee Chairayat dari AOP Thailand menekankan, pasar petani lokal harus dihidupkan kembali, diperkuat dan dilindungi dari serangan liberalisasi perdagangan.
“Kita harus membangun sistem perdagangan yang menghormati hak masyarakat atas pangan yang sehat dan tepat secara budaya yang diproduksi melalui secara berkelanjutan dan berdaulat. Ini tentu saja tidak bisa dicapai dari Bank Dunia atau IMF yang bertujuan memelihara kapitalisme agar terus hidup,” imbuhnya.
Sementara itu, Claude Giroud dari Confederation Paysanne Perancis menyampaikan, peran perempuan petani dalam melawan sistem ekonomi global yang dipromosikan oleh IMF dan Bank Dunia memiliki peran vital.
“Petani perempuan mengalami penindasan dua kali lebih banyak dibandingkan petani laki-laki. Di La Via Campesina kita mempromosikan dan menekankan bahwa petani perempuan adalah ibu kedaulatan pangan,” ungkapnya.
Zainal menutup, perjanjian perdagangan bebas, apa pun jenisnya baik bilateral, regional atau multilateral adalah alat masuknya proyek-proyek neoliberal ke negara-negara kita yang melahirkan privatisasi, deregulasi yang mengakar di negara kita.
“Itu hanya bisa kita lawan dengan membangun mekanisme perlindungan yang membela dan menegakkan hak-hak kita sebagai petani kecil,” sebutnya.
“La Via Campesina telah sampai kepada tahap akhir “Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani Kecil dan Masyarakat yang Bekerja di Pedesaan”. Deklarasi ini bisa digunakan sebagai alat atau mekanisme untuk menegakkan kedaulatan pangan dan melawan serangan sistem perdagangan global yang dibangun oleh WTO dan didukung penuh oleh IMF dan Bank Dunia,” tutupnya.
SPI yang tergabung dalam La Via Campesina beraliansi dengan Gerak Lawan (Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme dan Neoliberalisme), menolak pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali, 8 – 14 Oktober 2018, dengan melakukan serangkaian diskusi dan aksi damai di Bali.